Oleh : Nur Afni Saimima, S.H. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Pasuruan)
Seorang perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan maka ia harus memiliki wali. Keberadaan wali ini merupakan salah satu rukun nikah yang bila tidak terpenuhi maka akad nikah menjadi batal. Di dalam fiqih para ulama menetapkan beberapa persyaratan bagi seorang wali nikah. Di antara persyaratan itu adalah seorang wali harus beragama Islam. Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah. Ini didasarkan pada firman Allah pada ayat 71 Surat At-Taubah: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ Artinya: “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.”Dari penjelasan ini sudah dapat diambil satu pemahaman bahwa bila ayah kandung perempuan mualaf yang hendak menikah telah masuk Islam maka ia dapat menjadi wali dalam akad nikahnya. Namun bila sang ayah masih tetap pada agama asalnya maka ia tidak dapat menjadi wali nikah bagi putrinya yang telah memeluk agama Islam. Bila demikian adanya—sang ayah masih non-muslim—lalu siapa yang dapat menjadi wali nikah baginya? Bila telah jelas sang ayah tidak dapat menjadi wali nikah karena perbedaan agama maka diruntutlah daftar orang-orang yang dapat menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya, bila memang di antara mereka ada yang beragama Islam. Adapun urutan orang-orang yang dapat menjadi wali nikah adalah ayah, kakek (bapaknya bapak), saudara laki-laki sekandung (seayah seibu), saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), dan anak laki-lakinya paman. Bila ada salah satu dari orang-orang tersebut yang beragama Islam dan kedudukannya lebih dekat maka ia berhak menjadi wali bagi sang perempuan mualaf. Namun bila dari daftar urutan itu sama sekali tidak ada yang beragama Islam maka berlaku wali hakim yang dalam tata perundangan di Indonesia dilaksanakan oleh Kepala KUA Kecamatan setempat atau juga menunjuk wali muhakkam yang berasal dari tokoh agama.
Pernikahan yang ideal merupakan perkawinan yang wali nikahnya merupakan wali nasab, yaitu wali yang memiliki ikatan hubungan darah yang dekat dengan mempelai perempuan. Namun demikian, di beberapa tempat, perkawinan tidak melibatkan wali nasab. Perkawinan demikian bukanlah perkawinan yang ideal seperti digariskan oleh syari’at Islam dan peraturan yang berlaku. Secara syari’at dan peraturan yang berlaku, bila wali nasab berhalangan menjadi wali, maka dapat digantikan oleh wali hakim. Dikarenakan keterbatasan pemahaman para calon mempelai atau memang sengaja mengambil jalan pintas, para calon mempelai memberanikan diri mengangkat ulama, guru agama atau tokoh tertentu sebagai wali. Wali yang diangkat oleh para pihak, dalam terminologi hukum disebut dengan wali muhakkam. Pada dasarnya pengangkatan wali muhakkam tidak dibenarkan karena wali muhakkam tidak memiliki hak menjadi wali, namun praktik pernikahan dengan wali muhakkam ini masih saja terjadi, di beberapa daerah di Indonesia. Pernikahan dengan wali muhakkam terjadi karena beberapa alasan, diantaranya yaitu calon suami istri terhalang menikah dengan wali nasab, enggan berurusan dengan wali hakim, ingin mengambil jalan mudah dalam melangsungkan pernikahan, keterbatasan pengetahuan tentang administrasi pernikahan oleh para calon mempelai dan Pegawai Pencatat Nikah dalam hal ini pegawai Kantor Urusan Agama kurang maksimal dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Dalam pandangan para ulama pernikahan demikian tidak sah karena masih ada wali hakim yang berwenang, dan pernikahan demikian menimbulkan banyak kerugian terutama bagi istri karena ketiadaan kekuatan hukum (buku nikah), kesulitan dalam menuntut hak istri dan anak serta bagi anak karena akan kesulitan dalam mengurus akta kelahiran. Permohonan itsbat nikah di pengadilan agama dalam perkawinan menggunakan wali muhakkam sering ditemui di Pengadilan Agama. Dalam permohonan yang diajukan, para pihak telah menikah sirri dengan wali muhakkam. Secara hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perkawinan tersebut tidak dapat diitsbatkan. Alasan pertama karena tidak sesuai dengan syari’at agama dan peraturan yang berlaku. Para pihak menunjuk wali muhakkam dengan alasan wali nasab dari pihak perempuan beragama Kristen. Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat untuk menunjuk orang yang dianggap memiliki ilmu pengetahuan di bidang agama yang cukup, untuk mentaukilkan ijab kabul bahkan ditunjuk sebagai wali nikah bagi wanita yang tidak memiliki wali nasab sebagai wali muhakkam. Ulama fiqih telah mengurutkan perwalian sesuai dengan urutannya, jika urutan tersebut dilanggar maka nikahnya tidak sah, dan wali muhakkam berada pada urutan terakhir sesudah wali hakim atau wali sultan. Urutannya berpindah kepada wali muhakkam (wali tahkim) sebagai berikut :
- Jika semua wali nasab dan asobah tidak ada, jauh dan sulit untuk dijangkau;
- Ada wali nasab tinggal di satu tempat namun tidak mungkin hadir seperti ada ancaman terhadap dirinya walaupun jaraknya dekat;
- Wali hilang dan tidak jelas apakah masih hidup atau tidak, dan pada saat itu tidak ada wali nasab lainnya sama sekali;
- Terjadi adhol, walinya enggan untuk menikahkan;
- Jika urutan sebelumnya tidak ada maka pindah kepada wali hakim;
- Jatuh kepada wali muhakkam jika wali hakim tidak ada sama sekali.
Dikabulkannya pernikahan tersebut merupakan hasil ijtihad majelis hakim yang memeriksa perkara. Ijtihad dalam berhukum akan sangat membantu masyarakat pencari keadilan agar hak-haknya terpenuhi.
Terobosan hukum melihat kondisi sosial budaya para pemohon, pengesahan istbat nikah, pernikahan dengan wali muhakkam yang diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama dapat dibenarkan dan disahkan. Namun demikian, tidak semua istbat nikah pernikahan menggunakan wali muhakkam dikabulkan, karena harus melihat kembali latar belakang pernikahan menggunakan wali muhakkam itu terjadi. Tiap perkara yang sama akan berbeda putusannya tergantung latar belakang perkara tersebut. Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama selaras dengan tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum, serta dengan memperhatikan dampak sosial para pemohon. Dikabulkannya itsbat nikah tersebut berdampak pada status perkawinan para pemohon, sehingga dapat dicatatkan. Perkawinan para pemohon diakui oleh negara, tidak hanya agama. Perkawinan tersebut dapat dikategorikan peristiwa hukum yang melahirkan hak dan kewajiban di mata hukum. Selain itu, para pemohon dapat memiliki dokumen kependudukan sebagai mana mestinya.
Dikutip dari berbagai sumber