Selamat Datang di Website Resmi Pengadilan Agama Pasuruan

MENUNTASKAN ISBAT NIKAH DALAM TATARAN TEORITIK DAN PRAKTIK

Praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) di Indonesia sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai sekarang bahkan diprediksi tidak akan pernah habis atau tuntas hingga kiamat. Penyokong utama masih adanya praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) ini adalah adanya dualisme hukum yang masih diyakini masih sah dan berlaku oleh masyarakat Indonesia, yakni antara hukum agama (fiqh) dan/atau hukum adat dengan hukum positif. Bahkan sebagian masyarakat memandang hukum positif hanya berfungsi sebagai stempel administratif bagi hukum agama (fiqh) dan/atau hukum adat dalam praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) ini.

Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya kesadaran hukum masyarakat tentang nilai-nilai ketertiban dan kepastian hukum. Pada kondisi tertentu masyarakat pelaku perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) ini merasa tidak bermasalah, namun pada kondisi lainnya jika berbenturan atau mempunyai kepentingan hukum baru menyadari bahwa perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri)nya tersebut bermasalah. Bahkan sebagian masyarakat yang mengetahui dan menyadari betul titik lemah yuridis perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) ini menggunakannya dengan sengaja untuk melakukan penyelewengan dan/atau penyelundupan hukum demi memenuhi hasrat birahinya, semisal kawin dibawah umur, poligami sirri (perselingkuhan sah) dan lain sebagainya.

  1. Aspek Historisitas

Di dunia Islam, praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) ini sudah terjadi sejak zaman nabi dan para sahabat, sekalipun definisinya berbeda. Di zaman nabi dan para sahabat perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) dipahami sebagai perkawinan yang dilakukan tanpa sepengetahuan wali mempelai perempuan. Sedangkan di masa sekarang dipahami sebagai perkawinan yang dilakukan tanpa dicatatkan di lembaga pemerintahan. Di masa pemerintahan Umar bin Khottob, beliau pernah mempidana pelaku perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) ini, termasuk orang yang menikahkan (penghulu)nya. Efek jera inilah yang membuat perkawinan dibawah tangan (sirri) dalam perspektif sejarah kenabian bisa pupus tuntas. Tidak ada lagi sekarang orang melakukan perkawinan tanpa sepengetahuan walinya.

Di Indonesia, praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) dianggap sah secara formal sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun sebenarnya sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku efektif pada tanggal 1 April 1975 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) dianggap tidak sah secara formal. Sekalipun dalam praktiknya masih banyak masyarakat yang melakukan praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) hingga sekarang.

Dari sisi historis inilah terdapat persamaan dan perbedaan antara hukum di masa kenabian dan hukum di masa modern di Indonesia. Keduanya sama-sama progresif ingin menjadikan hukum sebagai pencipta ketertiban kehidupan masyarakat. Namun hukum di masa kenabian lebih efektif menghapus praktik perkawinan dibawah tangan (sirri) karena ada sanksi pidananya, sedangkan hukum modern di Indonesia belum memberikan sanksi pidana terhadap pelaku perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri). Apalagi Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hanya  berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal ini tidak secara tegas menyatakan pencatatan perkawinan sebagai poin  penentu keabsahan suatu perkawinan. Berbeda dengan Pasal 2 ayat (1) nya yang menyatakan pelaksanaan perkawinan secara hukum agama dan kepercayaan sebagai poin  penentu keabsahan suatu perkawinan.

  1. Aspek Konstitusional/Legal Formal

Sebenarnya sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku efektif pada tanggal 1 April 1975 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) harus dianggap tidak sah secara formal. Namun demikian para ahli hukum, terutama para ulama’nya, yang menyadari kultur masyarakat Indonesia yang tradisional-religius memberikan toleransi terhadap praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) dengan membuat eksepsionalitas sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 49 angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menjelaskan bahwa yang termasuk dalam sengketa perkawinan yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Ketentuan ini diperluas lagi oleh Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal sebagai berikut :

  1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
  2. Hilangnya akta nikah
  3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian
  4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan;
  5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Sekalipun Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam memperluas toleransi praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri), namun kita harus tetap melimitasinya dalam rangka memfungsikan hukum sebagai alat perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) menuju masyarakat yang tertib hukum. Jika tidak demikian maka hukum akan tidak lebih bermakna dari lembaran-lembaran kertas yang hanya bermanfaat untuk para pihak yang berkepentingan saja, tanpa mampu mengadakan perubahan peradaban masyarakat.

Dari kelima poin toleransi praktik perkawinan dibawah tangan/tidak tercatat (sirri) yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dapat kita kristalisasi menjadi 2 (dua) poin atau “kata kunci” saja, yakni pertama, perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaannya. Kedua,  perkawinan telah dilaksanakan sebelum berlaku secara efektifnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada tanggal 1 April 1975. Kata kunci kedua ini masih dapat kita toleransi lagi namun harus tetap dilimitasi dalam sebuah kesepakatan (agreement for limitation) biar supaya putusan/penetapan pengadilan tidak kehilangan fungsinya sebagai a tool of social engineering.

  1. Aspek Filsafat Hukum

Salah satu fungsi hukum, menurut Rescoe Pound, adalah alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering), bukan hanya sekedar tumbuh dan berkembang secara alami dalam kehidupan masyarakat tanpa mampu mengarahkan masyarakat kepada keadaan yang lebih baik. Dalam pandangan Rescoe Pound, hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau suatu tertib hukum, tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan dengan nilai-nilai yang saling bertentangan. Proses itu akhirnya melahirkan keseimbangan-keseimbangan baru yang membuat masyarakat terekayasa menuju keadaan baru yang lebih baik dengan keseimbangan-keseimbangan baru tersebut. Hukum tidak berada di belakang atau di depan perkembangan masyarakat, karena hukum adalah proses perkembangan masyarakat itu sendiri. Hukum harus dapat berfungsi untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat untuk menuju masyarakat yang sempurna dalam segala aspeknya.

Putusan/penetapan pengadilan (hakim) merupakan bagian integral dari keseluruhan sendi-sendi hukum yang ada di masyarakat. Putusan/penetapan pengadilan (hakim) juga harus mampu merekayasa masyarakat menuju peradaban yang lebih baik dan sempurna. Putusan/penetapan pengadilan (hakim) yang tidak bernuansa rekayasa sosial justru akan menumpulkan hukum itu sendiri. Putusan/penetapan pengadilan (hakim) harus membumi dan mengakar kepada seluruh masyarakat, bukan hanya kepada pihak yang berkepentingan saja.

  1. Aspek Sentimen Institusional

Dalam rangka optimalisasi law as a tool of social engineering, seluruh aparat hukum dan penegak keadilan serta stakeholder lainnya harus turut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi hukum, mewujudkan law inforcement serta menutup pintu-pintu penyelundupan dan/atau penyelewengan hukum (سد الذريعة) dan lain sebagainya. Tanpa peran serta seluruh aparat hukum dan penegak keadilan serta stakeholder lainnya dalam menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial justru akan menimbulkan sentimen institusional yang tidak produktif dalam menciptakan ketertiban masyarakat dalam berhukum.

Berita Terbaru