Selamat Datang di Website Resmi Pengadilan Agama Pasuruan

KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS BERCAP JEMPOL

KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS BERCAP JEMPOL

Oleh: Musthofa Sy.*

  1. Pendahuluan

            Dalam sebuah forum diskusi hukum muncul dua pandangan dalam menyikapi keabsahan surat kuasa khusus untuk bertindak di depan pengadilan yang dibubuhi cap jempol oleh pemberi kuasa yang buta huruf. Pertama, berpendapat bahwa surat kuasa yang dibubuhi cap jempol tersebut harus dilakukan waarmerkingKedua, berpendapat bahwa untuk surat kuasa yang demikian tidak cukup dengan waarmerking, tetapi harus dengan legalisasi.

Pendapat pertama beragumentasi bahwa upaya warmerking tersebut lazim di lingkungan peradilan, demikian pula ulasan dalam kepustakaan yang ada selama ini.[1] Sedangkan pendapat kedua berargumentasi bahwa warmerking tersebut tidak meningkatkan kualitas akta di bawah tangan tersebut, melainkan sekadar registrasi, oleh sebab itu surat tersebut harus dilegalisasi.

Munculnya perbedaan pandangan tersebut berawal dari temuan dalam praktik peradilan adanya pemberian kuasa dengan surat kuasa khusus bercap jempol sehingga hakim yang memeriksa perkara itu menyampaikan kepada yang bersangkutan untuk keabsahan surat tersebut harus dilakukan waarmerking. Hakim tersebut berpandangan bahwa dengan waarmerking surat kuasa tersebut menjadi sah dan kualitasnya setara dengan akta autentik.

Uraian tersebut melatari penulis untuk mengulas lebih lanjut mengenai keabsahan surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol oleh pemberi kuasa serta kajian atas perbedaan nomenklatur waarmerking dan legalisasi. Tanpa pretensi menggurui, tulisan ini diharapkan akan menambah referensi dan bahan diskusi  kita.

  1. Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dikemukakan batasan dan rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah keabsahan surat kuasa khusus untuk bertindak di depan pengadilan yang dibubuhi cap jempol oleh pemberi kuasa?
  2. Bagaimanakah perbedaan pengertian dan penerapan antara nomenklatur waarmerking dan legalisasi?
  3. Pembahasan

            Untuk membahas masalah tersebut, perlu diuraikan hal-hal relevan sebagai landasan untuk mengantarkan pada pokok bahasan yaitu hal-hal berkaitan dengan surat kuasa khusus, pembubuhan tanda tangan dalam surat kuasa khusus, dan cap jempol sebagai pegganti tanda tangan,  sebagaimana dalam uraian berikut.

  1. Keabsahan Surat Kuasa Khusus Bercap Jempol
  2. Surat Kuasa Khusus untuk Bertindak di Depan Pengadilan

       Pemberian kuasa (lastgeving) merupakan suatu persetujuan (overenkomst) antara seorang yang memberi kuasa atau kekuasaan (macht) dan orang lain (lasthebber) yang menerimanya untuk dan atas nama pemberi kuasa (lastgever) melakukan suatu urusan. Cara pemberian dan penerimaan kuasa dapat dilakukan dengan akta autentik (notarieel), tulisan di bawah tangan (onderhands geschrift), surat biasa, atau lisan. Penerimaan kuasa dapat pula secara diam-diam (stilzwijgend) dan dapat disimpulkan dari pelaksanaannya.[2]

Pemberian kuasa dapat dibedakan menjadi kuasa umum dan kuasa khusus.[3]  Kuasa umum mengandung isi dan tujuan untuk melakukan tindakan-tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa atau mengurus segala sesuatu yang berhubungan perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Kuasa khusus berisi tugas tertentu, pemberi kuasa hanya menyuruh penerima kuasa untuk melaksanakan suatu atau beberapa hal tertentu, misalnya kuasa untuk menjual rumah atau kuasa untuk menggugat orang tertentu.[4]

Kuasa untuk bertindak di depan pengadilan menggunakan kuasa khusus secara lisan atau tertulis.  Kuasa secara lisan dapat dilakukan oleh pihak yang mengajukan gugatan secara lisan karena butu huruf dengan menyatakan di hadapan Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk. Pernyataan tersebut dimuat dalam catatan gugatan yang dibuat oleh  Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk.[5] Kuasa secara lisan juga dapat dinyatakan oleh pihak-pihak berperkara di depan sidang pengadilan saat proses pemeriksaan. Penunjukan tersebut dicatat dalam berita acara persidangan.[6]

Pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan berbentuk tertulis harus berupa  surat kuasa khusus (bijzondere schriftelijke machtiging). Penerima kuasa yang mewakili pemberi kuasa untuk bertindak di depan pengadilan harus mempunyai surat kuasa khusus yang diserahkan di persidangan atau saat mengajukan gugatan/permohonan. Surat kuasa khusus tersebut dibuat dalam bentuk akta autentik yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang dihadiri oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa[7] atau akta di bawah tangan yang dibuat oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa tanpa perantaraan seorang pejabat.[8]

Formulasi surat kuasa khusus harus memenuhi syarat antara lain mencantumkan secara jelas surat kuasa untuk keperluan tertentu di pengadilan, kompetensi relatif, identitas dan kedudukan para pihak, serta pokok dan objek sengketa.[9] Surat kuasa khusus berbentuk akta di bawah tangan harus ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa, serta mencantumkan tanggal penandatangan.[10]

  1. Tanda Tangan dalam Surat Kuasa Khusus Berbentuk Akta di Bawah Tangan

Istilah “tanda tangan” merupakan gabungan kata yang berasal dari bahasa Belanda dari kata ondertekenen yang bermakna “membuat tanda di bawah”.  Tanda tangan atau signature dalam bahasa Inggris yang berasal dari kata Latin signare yang berarti tanda. [11] Pengertian Signature disebutkan dalam Kamus Online Dictionary.com, “Signaturea person’s name, or a mark representing it, as signed personally or by deputy, as in subscribing a letter or other document.”  Secara etimologi, kata “menandatangani” berarti memberi tanda (teken) di bawah sesuatu. Tanda tangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan tanda sebagai lambang yang dituliskan oleh orang itu sendiri sebagai penanda (telah menerima dan sebagainya).

Akta adalah surat yang dibubuhi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,[12] dan dibuat sejak semula secara sengaja untuk pembuktian.[13] Surat kuasa khusus berbentuk akta di bawah tangan harus dibubuhi tanda tangan sesuai Pasal 1869 KUHPerdata.

Argumentasi lain mengenai keharusan tanda tangan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur keabsahan suatu perjanjian harus memenuhi syarat yaitu berdasarkan kesepakatan para pihak, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal. Surat kuasa khusus berupa akta di bawah tangan merupakan suatu perjanjian[14] sehingga keabsahan surat kuasa tersebut harus memenuhi empat syarat sebagaimana ketentuan tersebut. Pembubuhan tanda tangan merupakan wujud dari syarat kesepakatan atas isi surat kuasa yang dibuat.

Ada yang berpendapat bahwa pembubuhan tanda tangan tersebut cukup dilakukan oleh pemberi kuasa sesuai dengan ketentuan Pasal 1814 KUHPerdata yang menegaskan bahwa pemberian kuasa merupakan perjanjian hukum sepihak dan pemberi kuasa dapat mencabut kembali sewaktu-waktu tanpa meminta persetujuan penerima kuasa. Menurut pendapat ini, surat kuasa tetap sah tanpa tanda tangan penerima kuasa.

Praktik peradilan umumnya berpedoman bahwa surat kuasa tersebut harus ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa. Argumentasi ini selaras dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa salah satu syarat keabsahan perjanjian adalah kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya. Karena surat kuasa merupakan perjanjian kedua belah pihak, maka surat kuasa tersebut harus ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa.

Tanda tangan dalam surat kuasa mempunyai fungsi antara lain sebagai identitas diri penanda tangan dan tanda persetujuan hak dan kewajiban yang tercantum di dalam surat kuasa.

  1. c. Pembubuhan Cap Jempol sebagai Pengganti Tanda Tangan

Sidik jari (fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Sidik jari manusia digunakan untuk keperluan identifikasi karena tidak ada dua manusia yang memiliki sidik jari persis sama. Identifikasi sidik jari (daktiloskopi) sering digunakan di kalangan kepolisian.[15]

Dalam anatomi manusia, jempol atau ibu jari merupakan salah satu jari pada tangan. Cap jempol adalah cap yang menggunakan ibu jari. Isitilah cap jempol dalam ranah hukum perdata dapat ditemukan antara lain dalam Pasal 1874 KUHPerdata:

Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang Pegawai umum.

Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang darimana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai umum.

Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut.

Dengan undang undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

Dalam praktik peradilan, adakalanya ditemukan pemberian kuasa dengan surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol oleh pemberi kuasa dan atau penerima kuasa. Alasannya, selain karena orang yang membubuhkan cap jempol tidak pandai baca tulis, ada juga karena alasan fisik tidak bisa membubuhkan tanda tangan. Mereka beranggapan bahwa pembubuhan cap jempol tersebut sudah tuntas sebagai pengganti tanda tangan.

Dasar hukum atau ketentuan hukum yang mengatur pembubuhan cap jempol yaitu Pasal 1874 KUHPerdata,  Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto  Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. mengatur kebolehan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan dengan ketentuan pembubuhan cap jempol tersebut mendapat pengesahan notaris.

Berdasarkan uraian tersebut, pembubuhan cap jempol dalam surat kuasa khusus tidak ada manfaatnya, kecuali dilakukan berdasarkan ketentuan hukum sebagaimana Pasal 1874 KUHPerdata,  Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto  Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. tersebut yang telah mengatur untuk surat kuasa khusus yang demikian harus mendapat pengesahan dari notaris. Putusan Mahkamah Agung Nomor 272 K/Pdt/1983 juga menegaskan bahwa surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol atau ibu jari harus dilegalisasi dan didafar sesuai Ordonansi St. 1916 Nomor 46.[16]

  1. Perbedaan Pengertian dan Penerapan antara Waarmerking dan Legalisasi

 Untuk mengetahui perbedaan antara waarmerking dan legalisasi akan diulas tentang perbedaan pengertiannya terlebih dahulu.

  1. Pengertian Waarmerking dan Legalisasi

Ketentuan tertua Waarmerking dapat ditemukan dalam Engelbrecht  yaitu dalam Ordonansi Stbl. 1867-29 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai kekuatan sebagai bukti dari surat-surat di bawah tangan yang dibuat oleh golongan hukum pribumi atau orang-orang yang disamakan dengan mereka (Bepalingen nopens de bewjskrscht van onderhandse geschriftenvan Indonesiers of met hen gelijkgestelde personen).  Pasal 1 ketentuan tersebut menentukan: [17]

Cap jempol disamakan dengan tanda tangan hanya apabila cap jempol itu di-waarmerk (yang bertanggal) oleh seorang Notaris atau pejabat lain yang ditunjuk dalam ordonansi dalam keterangannya harus dinyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan cap jempol atau orang itu diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta itu dijelaskan (voorhouden) kepada itu, setelah itu orangnya membubuhkan cap jempolnya di hadapan pejabat itu.

Kemudian ordonansi itu diubah dengan Stbl. 1916-46 jo. 43 yang dalam Pasal 1 Ayat (2) menentukan:

Sebuah cap jempol/jari tanda tangan orang termasuk golongan hukum pribumi (dan mereka yang disamakan) di bawah wesel, surat order, aksep, surat-surat atas nama pembawa (aan toonder), dan surat-surat dagang lainnya, disamakan dengan sebuah akta di bawah tangan, asalkan akta itu diberi waarmerking oleh seorang Notaris atau pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah, bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan cap jempol atau sidik jari atas tanda itu, bahwa isi akta itu telah dijelaskan kepada orang itu dan akhirnya, cap jempol atau sidik jari itu dibubuhkan di hadapan pegawai itu.

Ketentuan tersebut merupakan awal pemberian wewenang kepada Notaris untuk melegalisasi akta di bawah tangan. [18]

Berdasarkan ketentuan tersebut, istilah untuk pengesahan akta di bawah tangan yang dibubuhi cap jempol telah populer dalam ranah hukum perdata disebut waarmerking, demikian pula kepustakaan yang ada, antara lain Hukum Acara Perdata Indoneia yang ditulis oleh Sudikno Mertokusumo.[19]  Kalangan hakim umumnya juga mengenal upaya pengesahan itu dengan istilah waarmerking, kendati ada sebagian tidak sependapat. Waarmerking merupakan bagian tugas bidang kenotariatan. Oleh karena itu, untuk memahami istilah waarmerking, perlu melakukan kajian dengan rujukan kepustakaan bidang kenotariatan.

Dalam kajian pustaka kenotariatan, istilah waarmerking yang dahulu dipahami sebagai pengesahan yang dimaksud Pasal 1874 KUHPerdata,  Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto  Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. mengalami peyempitan makna.  De Bruyn Mgz membedakan dua istilah antara verklaring van visum dan legalisasi. Verklaring van visum semakna dengan waarmerking atau registrasisedangkan yang dimaksud Pasal 1874 KUHPerdata,  Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto  Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. adalah legalisasi.

Verklaring van visum semakna dengan waarmerken yang maksudnya memberi tanggal pasti (date certain), yaitu keterangan bahwa Notaris telah melihat (gezein) akta di bawah tangan pada hari itu, yaitu tanggal ketika Notaris melihatnya, bukan tanggal yang dikehendaki kliennya. Oleh karena verklaring van visum ini hanya memberi tanggal pasti, maka tanda tangan atau cap jempol yang tertera di atas surat di bawah tangan tersebut tidak pasti dan tetap dapat disangkal oleh orangnya atau ahli warisnya, tetapi tanggal tidak dapat disangkal.

Legalisasi adalah suatu tindakan hukum yang harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: (a) notaris itu mengenal orang yang membubuhkan tanda tangan atau campolnya, (b) isi akta itu diterangkan dan dijelaskan (voorhouden) kepada orangnya, dan (c) orang itu membubuhkan tanda tangan atau cap jempolnya di hadapan Notaris. Hal tersebut harus disebut oleh Notaris dalam keterangannya dalam akta di bawah tangan itu, tanda tangan atau cap jempol yang dilegalisasi demikian tidak dapat disangkal, kecuali keterangan Notaris dituduh sebagai keterangan palsu. Kekuatan legalisasi antara lain terletak pada pembubuhan tanda tangan atau cap jempol dari orang yang datang ke hadapan Notaris.[20]

  1. Perbedaan Penerapan Waarmerking dan Legalisasi

       Setelah memahami pengertian waarmerking dan legalisasi, selanjutnya akan dikemukakan perbedaan penerapan waarmerking dan legalisasi atas surat kuasa khusus bercap jempol.

  1. Waarmerking atau Verklaring van visum atau Registrasi

Waarmerking semakna dengan registrasi yaitu surat kuasa didaftar dalam register yang disediakan untuk itu oleh notaris. Registrasi sebatas pendaftaran dalam register tanpa melihat isi surat kuasa. Jadi, waarmerking merupakan pembukuan surat tersebut yang memenuhi sebagian proses legalisasi yang dimaksud  Pasal 1874 KUHPerdata  dan Pasal 286 RBg.

Contoh penerapannya:  Surat kuasa khusus bertanggal 25 Juni 2012 yang sudah dibubuhi cap jempol, kemudian dibawa menghadap Notaris pada tanggal 1 Juli 2012, maka Notaris hanya bisa melakukan waarmerking atau mendaftar dengan tanggal sesuai ketika kliennya menghadap.  Waarmerking ini tidak menyatakan sesuatu mengenai siapa yang menandatangani akta dan isi akta tersebut. Berikut contoh waarmerking versi Yusrizal berupa catatan di atas akta:

Ditandatangani dan didaftar (gewaarmerkt) dalam register tertentu,

di bawah nomor …, oleh saya Yusrizal, Sarjana Hukum, Notaris di Kota Palembang.

Palembang, …

Cap Jabatan

Nama Notaris

  1. Legalisasi

Legalisasi adalah memberi kepastian hukum bagi pengadilan tentang kebenaran orang yang memberi kuasa maupun mengenai kebenaran pembuatan kuasa itu. Akta di bawah tangan yang belum dibubuhi cap jempol (vingeratdruk) diberikan kepada Notaris dan di hadapan Notaris dibubuhi cap jempol oleh orang yang buta huruf setelah isi akta dijelaskan oleh Notaris (voorhouden) kepadanya. Dalam legalisasi, tanggal dan cap jempol adalah pasti karena cap jempol dibubuhkan di hadapan Notaris dan isi akta dijelaskan oleh Notaris.

Contoh legalisasi versi Yusrizal menulisnya di bawah akta dan berbunyi:

Yang bertanda tangan di bawah ini, Yusrizal, Sarjana Hukum, Notaris di Palembang, menerangkan dengan ini bahwa saya telah menjelaskan isi dan maksud surat tersebut di atas, kepada:

  1. Tuan …, pedagang,
  2. Nyonya …, petani.

Keduanya bertempat tinggal di …, yang saya Notaris kenal, sesudah mereka membubuhkan tanda tangan/cap jempol kirinya di atas surat tersebut, di hadapan saya, Notaris.

Palembang, …

Cap Jabatan

Nama Notaris[21]

  1. SIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Surat kuasa khusus berbentuk akta di bawah tangan untuk bertindak di depan pengadilan yang dibubuhi cap jempol harus dilegalisasi sesuai ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata, Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 272 K/Pdt/1983.
  2. Waarmerking semakna dengan registrasi yaitu memberi kepastian tanggal (date certain) pendaftaran di Notaris, sedangkan legalisasi memberikan kepastian tanda tangan, tanggal, dan isi akta sehingga akta itu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

Demikian, semoga bermanfaat.

Pasuruan, 26 Juni 2012

thova

           

 

*Waka PA Pasuruan. Artikel ditulis saat sebagai Hakim PA Pasuruan tahun 2012.

[1] Periksa Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 118.

[2] Pasal 1792 dan Pasal 1793 KUH Perdata. Lihat pula Komar Andarsasmita, Notaris II, Sumur Bandung, Bandung, 1982, hlm. 453.

[3] Pasal 1795 KUHPerdata.

[4] M. Yahya Harahap, Segi-segi Ilmu Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 308-309.

[5] Pasal 120 HIR/Pasal 144 RBg. juncto Pasal 123 Ayat (1) HIR/ Pasal 147 Ayat (1) RBg.

[6] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2010, Ditbadilag, Jakarta, 2010, hlm. 69.

[7] Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg.

[8] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 16-17.

[9] Pasal 123 HIR /Pasal 147 RBg. dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1994.

[10] M. Yahya Harahap, Op.Cit.

[11] http://id.wikipeia.org/wiki/tanda tangan. Diakses 25 Juni 2012.

[12] Perjanjian adalah suatu perbuatan, sedangkan perikatan adalah suatu hubungan yang dihasilkan dari perbuatan perjanjian  yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

[13] Pasal 1869 KUHPerdata. Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 116.

[14] Pasal 1792 dan Pasal 1793 Ayat (1) KUH Perdata

[15] http://id.wikipeia.org/wiki/Sidik_jari. Diakses 25 Juni 2012.

[16] M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 18.

[17] Engelbrecht 1960, hlm. 1753.

[18] De Bruyn Mgz. dalam Tan Thong Kie, Serba Serbi Praktek Notaris, dikutip kembali dalam  KIAGUS YUSRIZAL, Tinjauan Hukum terhadap Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dihubungkan dengan Kewenangan Notaris dalam Pasal 15 Ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Tesis, Program Magister Kenotariatan, Undip, Semarang, 2008, hlm. 25-29.

[19]Periksa Sudikno Mertokusumo, Ibid.

[20] KIAGUS YUSRIZAL, Ibid.

[21] Ibid.

Berita Terbaru